Viral Tren Joget-Joget Saat Bagi THR Lebaran 2025, Disebut Mirip Tarian Yahudi – Ini Penjelasannya

Viral Tren Joget-Joget Saat Bagi THR Lebaran 2025, Disebut Mirip Tarian Yahudi – Ini Penjelasannya

mediadaring.com, Jakarta – Momen Lebaran selalu identik dengan tradisi berbagi tunjangan hari raya (THR), terutama kepada anak-anak, keponakan, dan kerabat dekat. Namun, tahun ini, tren membagikan THR di media sosial mencuri perhatian warganet karena dilakukan sambil berjoget.

Konten video yang memperlihatkan aksi berjoget sambil memberikan uang THR viral di berbagai platform, terutama di For You Page (FYP) TikTok dan Instagram. Namun, tren ini menjadi kontroversial setelah sejumlah warganet menyebut gerakan joget tersebut mirip dengan tarian yang dilakukan komunitas Yahudi.

Bacaan Lainnya

Sebuah video yang beredar luas memperlihatkan sekelompok pria berpakaian khas Yahudi melakukan tarian serupa, yang kemudian dikaitkan dengan tren joget THR oleh sebagian pengguna media sosial. Lantas, apakah benar tren ini berasal dari tarian Yahudi?

Pendakwah Ingatkan Umat Muslim Tidak Latah Tren Tanpa Tahu Asal-usul

Ustadz Abu Bakar Al Akhdhory melalui akun Instagram-nya @abubakar_alakhdhory, menyampaikan keprihatinan terhadap tren joget-joget saat membagikan THR. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak sembarangan mengikuti tren viral tanpa memahami latar belakang atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

“Joget-joget bagi THR ternyata menyerupai tarian Yahudi. Kalaupun bukan tarian khas mereka, musik dan joget yang mengiringinya tetap tidak sesuai syariat,” tulisnya, Jumat (4/4/2025).

Ia menegaskan bahwa berbagi THR bukanlah hal yang dilarang, justru dianjurkan dalam Islam sebagai bentuk silaturahmi dan berbagi rezeki. Namun, ia menyoroti cara penyajiannya di media sosial yang cenderung dipenuhi unsur hiburan yang menurutnya berpotensi melanggar batas agama.

“Subhanallah, berbagi THR tidak masalah. Tapi kalau dibumbui dengan musik dan joget untuk keperluan konten, itu yang perlu disorot. Semoga Allah SWT memberi taufik kepada kita semua,” imbuhnya.

Budaya Ikut-Ikutan Jadi Sorotan

Ustadz Abu Bakar juga menyinggung fenomena FOMO (fear of missing out) yang membuat banyak masyarakat ikut-ikutan tren tanpa saringan. Menurutnya, masyarakat kerap ‘latah’ mengikuti tren viral hanya demi engagement, tanpa mempertimbangkan nilai atau dampaknya.

“Kalau ikut tren kebaikan, itu bagus. Tapi kalau ikut tren yang tak jelas asal-usulnya, apalagi sampai menyerupai budaya non-Muslim, perlu dipertimbangkan lagi. Velocity, joget THR, dan sebagainya itu harus dilihat substansinya,” ujarnya.

Dalam unggahan yang sama, Ustadz Abu Bakar juga menyampaikan permohonan maaf jika pernyataannya menyinggung sebagian pihak, khususnya para kreator konten.

“Dakwah memang sering menyinggung, tapi niatnya untuk mengingatkan. Semoga kita dijauhkan dari keburukan dan dimudahkan untuk istiqamah dalam kebaikan,” tutupnya.

Fakta: Tarian Viral Itu Bukan Eksklusif Yahudi

Menanggapi viralnya video yang disebut sebagai tarian Yahudi, jurnalis televisi Iqbal Himawan memberikan penjelasan berdasarkan penelusurannya di akun Instagram @iqbalhimawan_.

Menurut Iqbal, video yang disebut mirip dengan tren joget THR itu diunggah pada 6 Februari 2014 dan berasal dari acara pernikahan komunitas Chassidic di Israel, yakni cabang dari Yudaisme Ortodoks yang dikenal dengan pendekatan spiritual.

“Tarian tersebut dilakukan dalam formasi barisan tradisional bernama Honga. Tapi langkah-langkahnya disebut Bunny Hop, tarian yang berasal dari SMA Balboa di San Francisco sekitar tahun 1952,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa tarian dengan formasi serupa ditemukan dalam budaya lain, seperti Jenkka dari Finlandia, serta Letkajenkka yang populer pada era 1960-an. Bahkan ada yang menyamakan gerakan itu dengan folk dance dari Rumania dan Albania.

Tren berjoget sambil membagikan THR memang tengah viral di media sosial saat Lebaran 2025. Namun, kemunculan video serupa yang dikaitkan dengan tarian Yahudi memicu perdebatan di tengah masyarakat.

Dari sisi budaya, tarian serupa ternyata tidak eksklusif milik komunitas Yahudi, melainkan sudah berkembang di berbagai negara dengan nama dan variasi berbeda. Meski demikian, sejumlah pihak tetap mengingatkan pentingnya menyaring tren agar tidak sekadar ikut-ikutan tanpa pertimbangan nilai atau makna.

Tren boleh diikuti, tapi jangan sampai menghilangkan esensi ibadah dan tradisi yang luhur.

Pos terkait