Junta Myanmar Lanjutkan Serangan Udara di Tengah Krisis Gempa, PBB Kecam Keras

Junta Myanmar Lanjutkan Serangan Udara di Tengah Krisis Gempa, PBB Kecam Keras

Mediadaring.com, NaungchoJunta militer Myanmar terus melakukan serangan udara di beberapa wilayah negara tersebut, meskipun baru saja dilanda gempa bumi dahsyat yang telah menewaskan lebih dari 1.600 orang. Serangan ini memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyebut tindakan junta sebagai “sangat keterlaluan dan tidak dapat diterima.”

PBB Mengecam Keras Serangan di Tengah Bencana

Bacaan Lainnya

Pelapor Khusus PBB, Tom Andrews, mengkritik keras tindakan militer Myanmar yang tetap melanjutkan operasi udara di tengah upaya penyelamatan korban gempa. Ia menyatakan kepada BBC bahwa “tidak masuk akal” bagi militer untuk “menjatuhkan bom ketika orang-orang tengah berusaha menyelamatkan korban.”

Andrews menyerukan kepada komunitas internasional untuk meningkatkan tekanan terhadap junta agar menghentikan operasi militer mereka. “Siapa pun yang memiliki pengaruh terhadap militer Myanmar harus menjelaskan dengan tegas bahwa tindakan ini tidak bisa diterima,” ujarnya pada Minggu (30/3/2025).

Serangan Udara Meningkat, 7 Orang Tewas

Menurut laporan BBC Burmese, tujuh orang tewas akibat serangan udara yang terjadi di Naungcho, negara bagian Shan, hanya tiga jam setelah gempa mengguncang Myanmar. Kelompok pemberontak prodemokrasi juga melaporkan adanya serangan di Chang-U, wilayah Sagaing, yang merupakan pusat gempa. Serangan udara juga dilaporkan terjadi di dekat perbatasan Thailand.

Sementara itu, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang merupakan perwakilan pemerintahan sipil yang digulingkan, mengumumkan jeda dua minggu dalam operasi militer ofensif di wilayah terdampak gempa. Langkah ini diambil untuk memprioritaskan upaya kemanusiaan bagi para korban.

Gempa Berkekuatan 7,7 Guncang Myanmar

Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang Sagaing juga terasa hingga negara-negara tetangga. Kota besar seperti Mandalay dan ibu kota Nay Pyi Taw turut merasakan dampaknya. Junta militer melaporkan bahwa setidaknya 1.644 orang tewas dan banyak lainnya masih terperangkap di bawah reruntuhan.

Konflik Berkepanjangan dan Ketergantungan pada Serangan Udara

Gempa ini terjadi di tengah perang saudara yang telah berlangsung selama empat tahun sejak kudeta militer pada 2021. Kudeta tersebut memicu perlawanan luas dari kelompok prodemokrasi dan etnis bersenjata, yang kini menguasai sebagian besar wilayah negara itu. Berdasarkan investigasi BBC, saat ini militer hanya mengendalikan kurang dari 25% wilayah Myanmar, sementara kelompok perlawanan menguasai 42%, dengan sisanya masih diperebutkan.

Karena terus mengalami kekalahan di darat, junta semakin mengandalkan serangan udara untuk menekan perlawanan. Namun, kelompok prodemokrasi tidak memiliki kapasitas untuk membalas serangan dari udara, sehingga banyak warga sipil yang menjadi korban dalam operasi militer tersebut.

Dukungan Rusia dan Tiongkok Memperburuk Situasi

Meskipun PBB telah menyerukan embargo senjata terhadap Myanmar, Rusia dan Tiongkok tetap menjual pesawat tempur canggih serta memberikan pelatihan militer kepada junta. Ironisnya, kedua negara ini juga mengirim tim bantuan ke Myanmar setelah gempa terjadi. Aktivis hak asasi manusia, Julie Khine, menyatakan bahwa sulit mempercayai simpati dari negara-negara yang sekaligus memasok senjata kepada junta.

Ancaman Militer terhadap Bantuan Kemanusiaan

Selain kekhawatiran akan serangan udara, banyak pihak juga mengkhawatirkan kemungkinan militer memanfaatkan bantuan kemanusiaan sebagai alat dalam perang. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, junta sering kali memblokir bantuan yang ditujukan ke daerah yang dikuasai kelompok perlawanan. Tom Andrews mengingatkan bahwa militer Myanmar memiliki sejarah panjang dalam menolak bantuan bagi wilayah yang paling membutuhkan.

“Mereka mengirim bantuan hanya ke daerah yang mereka kuasai dan menolak mengirimkannya ke wilayah perlawanan. Bahkan, ada laporan tentang pekerja bantuan yang ditangkap dan truk bantuan yang dihalangi,” ujar Andrews.

Situasi di Myanmar semakin memburuk dengan kombinasi bencana alam dan konflik berkepanjangan. Komunitas internasional kini menghadapi tantangan besar untuk memberikan bantuan kemanusiaan tanpa terhambat oleh tindakan represif junta militer.

Pos terkait