Mediadaring.com, Jakarta – Pasar saham Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan hebat pada perdagangan Jumat, 28 Maret 2025. Aksi jual besar-besaran terjadi di Wall Street akibat meningkatnya ketidakpastian kebijakan perdagangan AS dan prospek inflasi yang kurang menggembirakan.
Mengutip laporan CNBC, Sabtu (29/3/2025), indeks Dow Jones mengalami penurunan tajam sebesar 715,80 poin atau 1,69 persen, ditutup pada level 41.583,90. Indeks S&P 500 turun 1,97 persen ke angka 5.580,94, sementara Nasdaq merosot 2,7 persen ke 17.322,99.
Sejumlah raksasa teknologi juga turut terseret dalam penurunan ini. Saham Alphabet, induk usaha Google, anjlok 4,9 persen, sedangkan Meta dan Amazon masing-masing turun 4,3 persen. Penurunan ini memperburuk kinerja indeks Nasdaq yang sepanjang bulan Maret telah melemah lebih dari 8 persen, menjadikannya bulan terburuk sejak Desember 2022.
Faktor Pemicu Kejatuhan Pasar
Penurunan tajam di Wall Street terjadi setelah laporan akhir dari University of Michigan menunjukkan ekspektasi inflasi jangka panjang tertinggi sejak 1993. Selain itu, data terbaru dari Biro Analisis Ekonomi AS menunjukkan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) inti naik 2,8 persen pada Februari, sedikit lebih tinggi dari perkiraan 2,7 persen. Pengeluaran konsumen juga meningkat 0,4 persen pada bulan tersebut, di bawah ekspektasi 0,5 persen.
Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan investor tentang kemungkinan inflasi yang berkepanjangan dan dampaknya terhadap kebijakan suku bunga AS. Di sisi lain, ancaman tarif baru yang direncanakan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap sektor ekspor utama seperti teknologi turut menambah tekanan di pasar saham.
Scott Helfstein, Head of Investment Strategy di Global X, menyatakan bahwa pasar berada dalam kondisi tidak menentu akibat kombinasi dari ketidakpastian tarif dagang dan inflasi. “Ketidakpastian ini menekan sektor ekspor utama seperti teknologi, sementara kenaikan harga barang juga membebani daya beli konsumen,” ujarnya.
Investor Bertahan di Tengah Volatilitas
Meski terjadi aksi jual, banyak investor masih bertahan dan belum melakukan perpindahan besar-besaran ke pasar uang. Helfstein menambahkan bahwa data inflasi dan pengeluaran konsumen yang dirilis pekan ini sebenarnya tidak seburuk yang diperkirakan, tetapi tetap menambah tekanan dalam jangka pendek.
Sementara itu, kebijakan perdagangan Trump juga menjadi sorotan utama. Gedung Putih dijadwalkan mengumumkan rencana tarif lebih lanjut pada 2 April 2025. Hal ini membuat investor semakin waspada terhadap potensi eskalasi perang dagang antara AS dan mitra dagangnya, termasuk Kanada dan Uni Eropa.
Pada Jumat lalu, Perdana Menteri Kanada Mark Carney mengonfirmasi kepada Presiden Trump bahwa pemerintah Kanada akan menerapkan tarif balasan sebagai respons atas kebijakan AS. Uni Eropa juga dilaporkan tengah mempertimbangkan konsesi untuk meredam ketegangan dagang.
Pekan ini, Trump juga mengumumkan tarif 25 persen untuk semua mobil yang tidak dibuat di AS. Langkah ini berpotensi merugikan industri otomotif global dan meningkatkan risiko perlambatan ekonomi.
Bursa Saham Asia Pasifik Ikut Terseret
Ketegangan perdagangan dan kekhawatiran inflasi juga berdampak pada pasar saham Asia Pasifik. Indeks Nikkei 225 di Jepang turun 1,8 persen ke level 37.120,33, yang merupakan titik terendah dalam dua minggu terakhir. Indeks Topix juga melemah 2,07 persen ke posisi 2.757,25.
Di Korea Selatan, indeks Kospi merosot 1,89 persen menjadi 2.557,98, sementara indeks Kosdaq turun 1,94 persen ke 693,76. Indeks Hang Seng di Hong Kong juga turun 0,65 persen ke level 23.426,6, sedangkan indeks CSI 30 di China melemah 0,44 persen ke 3.915,17.
Satu-satunya pengecualian adalah indeks ASX di Australia, yang naik tipis 0,16 persen ke level 7.982. Kenaikan ini terjadi di tengah pengumuman Perdana Menteri Anthony Albanese tentang pemilihan umum nasional pada 3 Mei 2025, yang memulai periode kampanye selama lima minggu.
Secara keseluruhan, pasar global masih berada dalam ketidakpastian tinggi menjelang keputusan tarif AS yang akan datang serta dinamika inflasi yang terus berkembang. Para investor akan mencermati perkembangan lebih lanjut untuk menentukan langkah mereka di minggu-minggu mendatang.